MEMBEDAH KABUPATEN TANGERANG, tak bisa mengabaikan perjalanan
panjang sejarah Kabupaten Tangerang itu sendiri. Di masa lalu Kabupaten
Tangerang pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Tarumanagara, sebuah
kerajaan paling tua di Pulau Jawa.
Pada abad kelima Masehi, di Jawa Barat terdapat sebuah
kerajaan yang dikenal dengan nama Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja
Purnawarman.
Mengenai riwayat kerajaan ini dapat dilihat dari tujuh
prasasti yang masing-masing ditemukan di wilayah Bogor, Bekasi, Pandeglang dan
Lebak. Ketujuh prasasti tersebut adalah; Prasasti Ciaruteun, Prasasti Jambu,
Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Muara Cianten, Prasasti
Lebak, dan Prasasti Tugu. Dari ketujuh prasasti tersebut, dapat diketahui bahwa
Tangerang yang berada di tengah-tengah daerah Bogor, Bekasi dan Lebak itu,
merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Tarumanagara. Menurut Purbatjaraka,
seorang ahli sejarah, lokasi ibukota Kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh
Raja Purnawarman itu berada di bagian sebelah timur Sungai Cisadane, dengan
batas sebelah timur Sungai Citarum.
Dalam naskah
Pangeran Wangsakerta yang disusun oleh Danasasmita, disebutkan bahwa, telah
terjadi pemindahan ibukota Kerajaan Tarumanagara, yang semula berada di
Jayasingawarman sekitar Kecamatan Jasinga (wilayah perbatasan antara Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Lebak) dipindahkan ke Sundapurabhaga, di pesisir utara
Bekasi. Adapun tentang muara Sungai Cisadane yang pernah menjadi tempat
kegiatan perdagangan, dibuktikan pada berita yang dicatat Tome Pires tahun
1513.
Pada waktu itu, Kerajaan Tarumanagara telah sirna, yang selanjutnya digantikan oleh Kerajaan Sunda. Tome Pirres adalah seorang Portugis yang melakukan perjalanan laut menyusuri pesisir berbagai pulau di Nusantara sambil mengunjungi kota-kota pelabuhannya. Tome Pires menyebutkan, ada enam buah kota pelabuhan yang masuk dalam wilayah Kerajaan Sunda. Keenam kota pelabuhan itu adalah, Bantam (Banten), Pomdag (Pontang), Chegujde (Cikande), Tamgara (Tangerang), Calapa (Sunda Kelapa), dan Chemano (Cimanuk). Keenam kota pelabuhan tersebut dapat diidentifikasi sebagai kota-kota pelabuhan Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Kalapa (Sunda Kelapa), dan Cimanuk.
Kedudukan Tangerang
Sejak Kesultanan Banten berdiri dan Jayakarta digabungkan dengan wilayah Kesultanan Banten, maka daerah Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten. Yang dimakud dengan daerah Tangerang adalah, daerah yang berada di sebelah barat dan timur aliran Sungai Cisadane bagian hilir.
Pada waktu itu, kedudukan daerah Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten belum begitu jelas. Berdasarkan sumber tradisi setempat di Tangerang, disebutkan bahwa sekitar tahun 1670 antara Banten, Sumedang, dan Cirebon terjadi hubungan politik dan perdagangan. Sejalan dengan hal tersebut, pada akhir tahun 1680 terjadi pertemuan antara Sultan Banten dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon yang dilangsungkan di sebuah tempat bernama Pesanggarahan, kota pertama di daerah Tangerang pedalaman.
Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa kedudukan Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten adalah Kemaulanaan dengan ibukotanya Pasanggarahan. Wilayah kekuasaan Kemaulanaan Tangerang mencakup Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Kemaulanaan ini dipimpin oleh tiga orang tumenggung yang berasal dari Sumedang. Ketiga tumenggung itu adalah, Tumenggung Aria Yudanegara, Tumenggung Aria Wangsakara, dan Tumenggung Aria Santika. Triumvirat ini disebut Tigaraksa (bermakna: tiga pemimpin atau tiga tiang). Meskipun telah terjadi perjanjian antara Sultan Haji dengan Kompeni (17 April 1684), namun ketiga Tumenggung tersebut masih tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni. Sayang, upaya mereka gagal. Bahkan, secara berturut-turut mereka gugur dalam pertempuran. Tumenggung Aria Santika gugur dalam pertempuran di Kebon Besar (tahun 1717), dan dimakamkan di Batuceper, tepatnya di Keramat Asem.
Setahun kemudian, tepatnya 1718, Tumenggung Aria Yudanegara pun gugur dalam pertempuran di Cikokol, dan dimakamkan di Desa Sangiang.Kemudian, pada tahun 1720, Tumenggung Aria Wangsakara, gugur dalam pertempuran di Ciledug, dan dimakamkan di Lengkong Kulon (Lengkong Sumedang). Dengan gugurnya ketiga tumenggung tersebut, maka pada tahun 1720 itu pula, Kemaulanaan Tangerang pun telah berakhir.
Pada waktu itu, Kerajaan Tarumanagara telah sirna, yang selanjutnya digantikan oleh Kerajaan Sunda. Tome Pirres adalah seorang Portugis yang melakukan perjalanan laut menyusuri pesisir berbagai pulau di Nusantara sambil mengunjungi kota-kota pelabuhannya. Tome Pires menyebutkan, ada enam buah kota pelabuhan yang masuk dalam wilayah Kerajaan Sunda. Keenam kota pelabuhan itu adalah, Bantam (Banten), Pomdag (Pontang), Chegujde (Cikande), Tamgara (Tangerang), Calapa (Sunda Kelapa), dan Chemano (Cimanuk). Keenam kota pelabuhan tersebut dapat diidentifikasi sebagai kota-kota pelabuhan Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Kalapa (Sunda Kelapa), dan Cimanuk.
Kedudukan Tangerang
Sejak Kesultanan Banten berdiri dan Jayakarta digabungkan dengan wilayah Kesultanan Banten, maka daerah Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten. Yang dimakud dengan daerah Tangerang adalah, daerah yang berada di sebelah barat dan timur aliran Sungai Cisadane bagian hilir.
Pada waktu itu, kedudukan daerah Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten belum begitu jelas. Berdasarkan sumber tradisi setempat di Tangerang, disebutkan bahwa sekitar tahun 1670 antara Banten, Sumedang, dan Cirebon terjadi hubungan politik dan perdagangan. Sejalan dengan hal tersebut, pada akhir tahun 1680 terjadi pertemuan antara Sultan Banten dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon yang dilangsungkan di sebuah tempat bernama Pesanggarahan, kota pertama di daerah Tangerang pedalaman.
Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa kedudukan Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten adalah Kemaulanaan dengan ibukotanya Pasanggarahan. Wilayah kekuasaan Kemaulanaan Tangerang mencakup Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Kemaulanaan ini dipimpin oleh tiga orang tumenggung yang berasal dari Sumedang. Ketiga tumenggung itu adalah, Tumenggung Aria Yudanegara, Tumenggung Aria Wangsakara, dan Tumenggung Aria Santika. Triumvirat ini disebut Tigaraksa (bermakna: tiga pemimpin atau tiga tiang). Meskipun telah terjadi perjanjian antara Sultan Haji dengan Kompeni (17 April 1684), namun ketiga Tumenggung tersebut masih tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni. Sayang, upaya mereka gagal. Bahkan, secara berturut-turut mereka gugur dalam pertempuran. Tumenggung Aria Santika gugur dalam pertempuran di Kebon Besar (tahun 1717), dan dimakamkan di Batuceper, tepatnya di Keramat Asem.
Setahun kemudian, tepatnya 1718, Tumenggung Aria Yudanegara pun gugur dalam pertempuran di Cikokol, dan dimakamkan di Desa Sangiang.Kemudian, pada tahun 1720, Tumenggung Aria Wangsakara, gugur dalam pertempuran di Ciledug, dan dimakamkan di Lengkong Kulon (Lengkong Sumedang). Dengan gugurnya ketiga tumenggung tersebut, maka pada tahun 1720 itu pula, Kemaulanaan Tangerang pun telah berakhir.
Terbentuknya DPRD di Tangerang
Perubahan paling mendasar dalam Decentralisatiewet tahun 1930 ialah, adanya peluang untuk membentuk Badan Perwakilan Rakyat Lokal (Locale Raad), mulai dari Gewestelijke Raad, Plaatselijke Raad hingga Gemene Raad (Badan Perwakilan Rakyat tingkat Provinsi). Badan-badan perwakilan itu, memiliki hak untuk mengatur serta mengurus rumah tangga wilayah masing-masing.
Waktu itu, satu-satunya daerah yang membentuk Badan Perwakilan Rakyat hanya Batavia (Jakarta) dengan membentuk Badan Perwakilan Rakyat yang disebut Batavia Gemeente Raad (1905). Maka tak heran, jika Batavia Gemeente Raad pun sering disebut sebagai cikal bakal Parlemen di Indonesia. Namun, menurut laporan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Badan Perwakilan Rakyat yang pertama di Indonesia adalah Volksraad, yang dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Staatsblad No. 114 Tahun 1917) yang pelaksanaannya dilakukan tahun 1918, dan anggota-anggotanya dilantik oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum.
Dengan diterbitkannya PP No. 39/1950 tentang Pembentukan DPRD Sementara (DPRDS), maka awal Januari 1951 dibentuklah DPRDS Tangerang, yang para anggotanya diajukan oleh partai politik dan organisasi tertentu di Tangerang. Adapun penentuan jumlah wakil dari tiap-tiap partai didasarkan kepengurusan yang ada di tingkat kecamatan. Pembentukan DPRDS Tangerang tersebut diikuti tidak kurang dari 13 organisasi dan partai politik yang memiliki cabang di Tangerang. Adapun komposisi keanggotaan DPRDS Tangerang pada waktu itu adalah sebagai berikut: Partai Masyumi diwakili oleh 12 orang, Partai Murba diwakili oleh 3 orang, Partai Sarbumusi diwakili 1 orang, Partai Serikat Buruh Mobil diwakili 1 orang, Partai Sosialis diwakili 1 orang, PGRI diwakili 1 orang, Pergerakan Tani diwakili 1 orang, Partai Baperki diwakili 1 orang, Partai Rakyat Nasional diwakili 1 orang, Partai Acoma diwakili 1 orang, PNI diwakili 1 orang, dan Pergerakan Wanita diwakili 1 orang.
Kehidupan Sosial Budaya
Penduduk Tangerang merupakan masyarakat campuran, yaitu suatu konglomerasi berbagai suku bangsa yang terkandas di muara Sungai Cisadane dalam beberapa abad yang lampau. Penduduk yang mendiami wilayah Tangerang tidak sedikit yang berasal dari para keturunan prajurit Sultan Agung dari Mataram yang pernah melakukan penyerangan ke Batavia (Jakarta). Selain itu, ada pula keturunan para tawanan kompeni dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, terjadilah asimilasi dari berbagai bangsa, sehingga akhirnya terciptalah suatu kelompok masyarakat yang khusus sifatnya.
Proses asimilasi inilah yang pada akhirnya melahirkan corak sosial budaya dan kesenian yang khas di Tangerang. Salah satu kelompok masyarakat yang memegang peranan penting di daerah Tangerang adalah golongan agama, terutama Islam, karena mayoritas penduduk di daerah ini beragama Islam.
Kehidupan agama Islam di daerah ini banyak mendapat pengaruh dari daerah Banten. Salah satu cirinya adalah tumbuhnya beberapa pondok pesantren yang dipimpin oleh para kiayi yang memiliki pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat. Adapun pesantren yang berkembang di daerah Tangerang pada ketika itu adalah; Pesantren Doyong di Desa Jati, Kecamatan Curug, yang dipimpin oleh KH. Rasihun, Pesantren Tigaraksa yang dipimpin oleh KH. Imran, dan Pesantren Tegal Kunir yang dipimpin KH. Kasiman. Keberadaan pesantren-pesantren tersebut memiliki peran yang cukup besar dalam menyebarluaskan nilai-nilai keagamaan dan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Tangerang.
Kehidupan sosial dan budaya di daerah Tangerang tak terlepas dari kehadiran para tuan tanah yang menjadi ‘raja kecil’ di daerah ini. Di samping para tuan tanah yang merupakan golongan masyarakat elit setempat, muncul pula golongan masyarakat lainnya yang lebih dikenal dengan sebutan jawara. Umumnya, kelompok jawara ini berasal dari orang-orang desa yang memiliki kemampuan yang lebih di bidang ilmu bela diri dan kebatinan. Sebagian dari mereka biasanya adalah bekas orang-orang hukuman, atau setidak-tidaknya pernah membuat kericuhan di lingkungannya masing-masing.
Munculnya kelompok jawara, tidak terlepas dari perkembangan sistem pemilikan tanah yang tidak seimbang atau tidak adil antara orang-orang Cina dan pribumi, serta jumlah penduduk yang makin bertambah. Dalam kondisi kehidupan yang sulit itulah banyak anggota masyarakat yang menerjunkan diri menjadi jawara sebagai mata pencaharian mereka dengan mengandalkan kekuatan fisik dan ilmu bela diri yang mereka miliki
Para tuan tanah di tanah partikelir, umumnya selalu memanfaatkan tenaga para jawara. Di antara para jawara itu, ada yang diangkat menjadi Cutak (Kepala Polisi Tuan Tanah) yang ditugaskan sebagai pengawal pribadi dan keluarga tuan tanah, serta menarik cukai (pajak) dari penduduk setempat.
Secara tidak langsung, peranan para tuan tanah pun banyak memupuk kehidupan para jawara yang dikenal sebagai jagoan. Pemupukan itu sendiri, salah satunya lewat perjudian. Misalnya, judi koprok, cimplong, rolet, cekih, capsa, domino, dan sabung ayam. Biasanya, yang menjadi bandar judi adalah orang-orang dari kalangan jawara. Aspek lainnya dari kehidupan para tuan tanah dan jawara itu adalah memungkinkan tumbuhnya jenis-jenis kesenian olahan. Kesenian olahan ini merupakan perpaduan unsur-unsur kebudayaan Cina, Melayu, Jawa, Sunda, dan Betawi. Ragam kesenian itu antara lain; Gambang Keromong, Tanjidor, Cokek, Topeng, Wayang Golek, Wayang Potehi, dan lain-lain.
Situasi Pemerintahan
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintahan Hindia Belanda secara resmi telah berakhir. Selanjutnya Indonesia memasuki babak baru yang berada di bawah kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Dan, Pemerintah Militer Jepang ini membagi wilayah Indonesia menjadi 3 (tiga) daerah pemerintahan: Wilayah Sumatera berada di bawah kekuasaan tentara ke-25 Angkatan Darat, dengan pusatnya di Bukittinggi, Wilayah Jawa, Madura dan Bali, berada dibawah kekuasaan tentara ke-16 Angkatan Darat, dengan ibukotanya di Jakarta, Wilayah Indonesia Timur yang meliputi Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, berada di bawah kekuasaan armada selatan ke-2 angkatan laut.
Untuk wilayah Pulau Jawa, pengelolaan pemerintahannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang dikeluarkan setelah Jepang berkuasa. Undang-undang tersebut menjadi pedoman pokok dari peraturan tatanegara pada waktu itu. Karena waktu itu azas pemerintahannya adalah pemerintahan militer, maka secara otomatis Panglima Tentara ke-16 menjadi pucuk pimpinan pemerintahan yang dijabat oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Ia diserahi tugas untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai Gunseikan. Selanjutnya, staf pemerintahan militer pusat ini dinamakan Gunseikanbu yang dalam menjalankan tugasnya itu membawahi kurang lebih lima departemen.
Dalam lingkungan Karesidenan Batavia, Pemerintah Militer Jepang membentuk dua kabupaten (ken), yaitu Kabupaten Jakarta, dan Kabupaten Krawang, serta sebuah tokubetusi (kotapraja) Jakarta. Sedangkan untuk daerah Tangerang sendiri, sehubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan ini yang tidak mengalami perubahan apa-apa, maka status Tangerang pada masa Pemerintahan Militer Jepang masih tetap menjadi Kewedanaan, seperti yang terjadi pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Pada akhir tahun 1943 barulah status Tangerang ditetapkan sebagai Kabupaten. Hal ini berdasarkan keputusan Syuutyookan Jakarta yang dimuat dalam Kampo (berita pemerintah) tentang kepindahan Jakarta Ken Kakuso ke Tangerang. Selain itu, Jakarta pun ditetapkan sebagai Tokubetsu si (Kotapraja Istimewa).
Pembentukan Tangerang sebagai Kabupaten (27 Desember 1943), dimaksudkan untuk kelancaran urusan pemerintahan. Apalagi Pemerintah Kabupaten Jakarta dianggap tidak efektif untuk membawahi Tangerang yang wilayahnya cukup luas itu.
Berbagai Julukan
Tangerang yang pernah menjadi kota pelabuhan pada masa Kerajaan Sunda, seiring dengan perkembangan zaman, maka Tangerang pun pernah dijuluki sebagai “Kota Kerajinan”. Julukan Kota Kerajinan bagi Tangerang, tidak bisa dilepaskan dari peranan dan jasa, Franschman Petit Jean, seorang warga negara Prancis yang menetap di Tangerang. Pada tahun 1882, Petit Jean mendirikan usaha kerajinan anyaman Topi Panama atau lebih dikenal dengan sebutan Topi Tangerang.
Ternyata, usaha kerajinan Topi Panama yang dirintis oleh Petit Jean tersebut mengalami kemajuan yang cukup pesat. Pada tahun 1887, Topi Panama buatan Tangerang yang sudah kesohor itu pun sanggup mengekspor 145 juta topi ke berbagai negara di seluruh dunia. Sejak itu, Tangerang mengekspor sekitar 4 juta hingga 5 juta topi ke luar negeri setiap tahunnya. Volume ini terus meningkat. Bahkan, pada tahun 1919, topi yang diekspor ke luar negeri mencapai 6 juta topi. Melihat sejarah perindustrian di Tangerang waktu itu, tidak heran jika Tangerang pun tidak hanya menjadi salah satu kawasan industri pemerintah, tetapi juga telah bermunculan berbagai home industri kerajinan, terutama kerajinan topi dan kerajinan-kerajinan anyaman lainnya. Inilah yang menjadikan Tangerang dijuluki sebagai Kota Kerajinan.
Sebutan Kota Kerajinan bagi Tangerang perlahan-lahan mulai hilang dan tidak terdengar lagi. Selanjutnya, Tangerang pun mendapat julukan yang baru sebagai Kota Seribu Industri. Julukan ini mulai popular pada tahun 1984 hingga 1996 yang merupakan zaman keemasan bagi daerah Tangerang.
Waktu itu, telah terjadi semacam peralihan dari pertanian ke industri. Peralihan ini tak bisa dilepaskan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1976 yang menetapkan daerah Tangerang sebagai wilayah pengembangan Jabotabek--yang dipersiapkan untuk mengurangi ledakan penduduk dari Provinsi DKI Jakarta.
Diterbitkannya Keppres Nomor 13 Tahun 1976, disadari ataupun tidak telah memberikan keuntungan bagi Tangerang dengan banyaknya investor yang berdatangan ke daerah ini. Akibatnya, kondisi dan komposisi sumber PAD (pendapatan asli daerah) mulai agak terbalik. Persentase sektor industri mulai mendekati pertanian. Kendati demikian, ada pula sisi negatifnya, yakni banyak sawah irigasi teknis yang dijual masyarakat untuk kemudian menjadi tanah industri.(Dikuitip dari Buku Hari Jadi Kabupaten Tangerang ke-66 "Bunga Rampai Kabupaten Tangerang")